Cerita
dari sekaleng kerupuk puli.
Karya: Annisa Zulia Putri/180321614516
13
Mei 2020. Sehari setelah kejadian.
Pagi
yang tidak biasa. Tidak ada omelan ibu hari ini. Tidak ada bau kopi hitam
semerbak hari ini. Tidak ada kicauan burung dadali dari sangkar burung yang
tergantung di kanopi rumah hari ini. Tidak ada sapaan dari mereka yang biasa
memberikan senyuman merekah kepadanya. Tidak ada lagi dan mungkin tidak akan
pernah. Tapi mengapa dia tidak membela diri pada waktu temannya memberikan omongan
palsu? Mengapa dia masih bisa tersenyum tegar hari ini? Bohong! Aku yakin dia
sedang menahan perih di hati dan di perutnya. Jelas saja, ia sama sekali belum
memasukkan makanan ke dalam perutnya dari kemarin. Bagaimana tidak? Gajinya
sudah habis untuk membayar ganti rugi atas ketidaksalahannya.
12
Mei 2020, kejadian.
“Pak, tolong segera
diminta gaji bulan ini. Kita sudah ndak punya pegangan. Bu Ningsih sudah
ndak mau pinjamin duit lagi soale hutang 2 bulan kemarin belum
lunas.” Suara khas dari seorang ibu yang tidak lain istri dari pak Cahyo.
“Nggeh bu, sampeyan
ojok kuatir. Insha Allah bapak minta ke kepala sekolah. Wes ndak usah
hutang lagi ke tetangga, tetangga yo podo punya kepentingan.” Kalimat
yang selalu aku dengar dari bapak dengan senyuman dari bibir hitamnya.
Pak Cahyo seorang guru
honorer di Sekolah Dasar terpencil di desanya dan Bu Cahyo istri tercinta pak
Cahyo seorang buruh pabrik kerupuk puli. Mereka telah hidup bersama kurang
lebih 40 tahun. Namun sampai saat ini mereka belum dikaruniai buah hati karena
kecelakaan yang menimpa Pak Cahyo saat mengantar sang istri ke pasar. “Kopinya
dihabiskan Pak. Ilingo ojok lali diminta nggeh.” Cakap Ibu dengan
nada memelas dan raut wajah memohon. Namun tetap saja seperti biasa, Pak Cahyo
menjawab dengan nada lembut dan senyum lebar dari bibir hitamnya yang sampai-sampai
membuat keriput di pipinya terlihat jelas “Insha Allah.”
Pagi
ini Pak Cahyo berangkat lebih pagi, tidak seperti biasanya karena ia hendak
cepat bertemu Kepala Sekolah. Ia mengeluarkan ‘kereta kencana’ miliknya. Sepeda
butut turun temurun dari kakeknya masih awet sampai saat ini walaupun warnanya
sudah memudar dan berkarat. Jarak rumah Pak Cahyo ke sekolah cukup memakan
waktu sekitar 30 menit. Namun pada hari itu jarak rumah ke sekolah terasa
sangat jauh dan lebih memakan waktu banyak. Seolah sesuatu akan terjadi dan
semesta sedang menahannya untuk segera sampai ke sekolah.
“Tibake
Pak Yanto gurung teko. Jam 7 ngajar di kelas 4 sampai jam 9, bar
iku tak coba menghadap Pak Yanto wes.” Gumamnya sambil membenarkan
taplak meja kerjanya. Pak Yanto ialah kepala sekolah SD tempat Pak Cahyo
mengajar. Pak Yanto 15 tahun lebih muda dari Pak Cahyo. Ia merupakan orang yang
sangat disegani di desa karena ia seorang kepala sekolah, saudagar dan pemilik
pabrik kerupuk puli di desa kecil ini. “Dor! Lapo kon kok ngelamun,
Cak?” suara yang tidak lain keluar dari mulut Pak Subagyo, guru matematika
sekaligus bendahara di sekolah. “Mikirno piye carane omonng nang Pak
Yanto nek aku arep njaluk gaji, Cak. Dungaren kon wes teko? Biasanya jam
7 baru sampai. Oiyo Pak Anto ndi yo kok gurung teko?” Tegur Pak
Cahyo sambil membenarkan posisi duduknya menjadi berdiri. “Gak eru aku. Iyo
aku dikongkon ngadep nang Pak Yanto. Katanya mau ngomong masalah KAS
sekolah.” Jawab Pak Subagyo sembari mengambil tas hitam kotak yang entah isinya
apa dan jalan keluar dari ruang guru meninggalkan Pak Cahyo yang sedang asyik
melamun sembari mengamati jam di dinding yang menunjukkan pukul 06.05.
Setelah
15 menit membereskan meja kerja dan menyiapkan buku di atas mejanya, Pak Cahyo
keluar menuju gerbang depan sekolah untuk menyapa murid-muridnya. Kebiasaan Pak
Cahyo ini yang membuat Pak Cahyo terkenal di kalangan murid-murid sampai orang
tua murid. Satu per satu murid masuk dan tak lupa bersalaman mencium tangan Pak
Cahyo sambil bertegur sapa seperti biasa. Namun Pak Cahyo tidak menyadari ada
yang memerhatikan gerak geriknya sejak ia datang. “Iki loh seng tak kangenin
nek sampeyan wes pensiun, Pak.” Sapa orang tua murid yang tidak lain
tetangga Pak Cahyo, Bu Minah. “Oalah Bu Minah, Rek. Kemana Pak
Anto? Biasanya Pak Anto yang mengantar Rudi sekolah sekalian menyapu halaman
sekolah, Bu.” Tegur balik Pak Cahyo. “Bapak kabur, Pak. Bapak ketahuan nilep
uang pabrik.” Jawab Rudi yang sontak membuat kaget Pak Cahyo dan Bu Minah.
Dengan satu pukulan Bu Minah mendarat ke punggung Rudi yang kurus dan kecil
berhasil membuat Rudi hampir jatuh. “Eladalah ngawur arek iki. Bapakmu iku
guduk nilep, Cong.” Jawab Bu Minah terbata-bata dan sedikit panik. “Halah
mbijuk Ibuk iki, lawong mambengi Ibuk karo Bapak satru omong ‘Lapo kon nilep
duek’e wong, isin aku Mas isin’ ya toh Buk? Krungu Rudi, Buk.”
Dengan sigap Pak Cahyo langsung menghentikan pembicaraan ini dengan kalimat
“Rudi ayo masuk kelas, sebentar lagi saya ngajar di kelas Rudi.” Tanpa
jawaban apa-apa lagi, Rudi lari menuju teman-temannya yang sedang berjalan
bersama menuju kelas. Bu Minah yang merasa tak enak hati langsung meminta maaf
atas perkataan Rudi tadi dan menjelaskan bahwa semua itu salah paham. Katanya,
Pak Anto hanya sedang ada tugas pergi keluar kota untuk distribusi kerupuk puli
pabriknya. Pak Cahyo hanya mengangguk dan tersenyum lalu pamit ke Bu Minah untuk
masuk ke kelas.
Tepat
pukul 07.00 bel dari besi tua berdenting. Masing-masing guru mulai masuk ke
kelas untuk mengawali pembelajaran hari ini. Saat Pak Cahyo keluar dari ruang
guru dan hendak menuju ke ruang kelas 4, Pak Subagyo menghentikan langkah kaki
Pak Cahyo. “Pak sampeyan mau ngajar di kelas berapa?” Pak Subagyo
langsung menghadang langkah kaki Pak Cahyo. Pak Cahyo menatap wajah temannya yang
dibanjiri keringat serta mata melotot seolah ada hal yang membuat Pak Subagyo panik.
“Mau ke kelas 4 saya Pak, ono opo? Kobyos ngene wajahmu sak klambimu,
Cak.” Jawab Pak Cahyo dengan nada heran. “Sampeyan diceluk Pak Yanto.”
Pak Cahyo tidak bertanya apa-apa lagi kepada Pak Subagyo tentang ada perihal
apa ia dipanggil. Dalam pikiran Pak Cahyo hanya gajinya akan dibayarkan hari
ini. “Alhamdulillah, iki rezekimu, Bu.” Gumam Pak Cahyo.
Sebelum
Pak Cahyo menghadap Pak Yanto, ia menyempatkan masuk ke kelas untuk memberikan
tugas dan ijin keluar sebentar menemui Kepala Sekolah. “Jangan ramai ya, saya
hanya sebentar ke ruang sebelah.” Kata Pak Cahyo. Setelah selesai urusannya
dengan anak didiknya, Pak Cahyo keluar kelas dan menuju ruang kepala sekolah
yang jaraknya hanya berbeda 1 ruangan dengan ruang kelas mengajar Pak Cahyo. “Assalamualaykum,
kata Pak Subagyo sampeyan mencari saya?” kata Pak Cahyo dengan senyum
sumringahnya. “Masuk, Pak. Ada yang ingin saya tanyakan kepada bapak karena
hari ini bapak yang pertama kali menginjakkan kaki di sekolah.” Jawaban Pak
Yanto membuat Pak Cahyo perlahan menghilangkan senyumannya dan berpikir ‘Ada
apa ini?’.
“Nggeh, Pak. Memang
saya yang datang pertama lalu setelah saya ada Pak Subagyo. Pak Subagyo bilang
kalau hendak bertemu dengan bapak membahas KAS sekolah.” Sahut Pak Cahyo.
“Loh. Saya saja
baru datang ini dan Pak Subagyo melaporkan uang KAS sekolah hilang. Saya terakhir
taruh di ruang guru. Mangkane saya panggil Pak Cahyo kemari untuk
bertanya apakah Pak Cahyo melihat tas itu?”
“Saya ndak tahu apa-apa
perihal tas itu, Pak.” Jawab Pak Cahyo dengan tegas.
Di saat Pak Yanto dan Pak Cahyo saling bertanya-tanya,
Pak Subagyo datang dengan membawa tas hitam itu.
“Ini. Saya temukan di
bawah meja kerja Pak Cahyo.” Dengan suara lantang, Pak Subagyo mengangkat tas
hitam itu bak sedang mengangkat piala kejuaraan. Di belakangnya ada seseorang
yang membuat Pak Cahyo kaget karena kabarnya ia sedang pergi keluar kota.
“Ini ada saksinya, Pak
Anto ayo ngomong. Tas ini ada di bawah meja Pak Cahyo kan?” desak Pak Subagyo.
“Benar, Pak. Saya lihat
sendiri tadi pagi-pagi sekali Pak Cahyo berangkat dari rumahnya. Kebetulan rumah
saya dan rumah Pak Cahyo bersebelahan. Saya mendengar bahwa Bu Cahyo sedang
membutuhkan uang untuk membayar hutang, Pak. Ternyata ini maksudmu pergi pagi-pagi
sekali ke sekolah! Kurang ajar kamu Cahyo!” satu tamparan keras mendarat di
pipi Pak Cahyo.
Belum sempat Pak Cahyo menjelaskan apa-apa kepada Pak
Yanto, Pak Subagyo menarik kerah leher seragam Pak Cahyo dan menyeretnya ke
ruang guru. Sontak kejadian itu membuat siswa kelas 4 berlarian mengerubungi
Pak Subagyo dan Pak Cahyo.
“Teman-teman semua. Ini maling
uang KAS kita. Dia mengambil uang KAS kita untuk membayar hutang-hutang
istrinya. Perampok kamu!” Suara menggelegar Pak Subagyo sambil mengangkat kerah
seragam Pak Cahyo dan meludahi Pak Cahyo.
“Langsung bawa ke kantor
polisi saja. Guru eh maksud saya maling tidak boleh menginjakkan kaki di
sekolah ini.” Sahutan Pak Anto yang semakin membuat seisi ruangan memanas.
“Sudah hentikan. Tidak perlu
di bawa ke kantor polisi. Kita bisa selesaikan ini dengan baik. Pak Subagyo
tolong tahan amarahmu. Mari kita selesaikan baik-baik di ruangan saya. Semua harap
tenang dan anak-anak diharap kembali ke kelas. Tolong Pak Saiful bawa anak-anak
masuk ke kelas.” Jawab Pak Yanto sembari melepaskan tangan Pak Subagyo dari
kerah seragam Pak Cahyo.
Di dalam ruang kepala
sekolah, Pak Subagyo sudah berapi-api seperti orang kesetanan hendak mengeroyok
Pak Cahyo. Pak Cahyo hanya bisa diam menahan rasa takutnya, mengumpulkan segala
keberaniannya untuk menjelaskan mengapa ia datang ke sekolah tidak seperti
biasanya. Namun naas, Pak Anto dan Pak Subagyo tetap menyalahkan Pak Cahyo
perihal hilangnya tas hitam itu. Pak Yanto yang mudah dikelabuhi oleh 2
penjahat tersebut, langsung memutuskan memecat Pak Cahyo dan tidak memberi sisa
gaji yang belum dibayarkan dengan alibi sebagai ganti rugi.
Bak petir di siang bolong.
Ucapan Pak Yanto sontak membuat Pak Cahyo jatuh tersungkur ke lantai dan
menangis. Di dalam pikiran Pak Cahyo hanya ‘Mengapa harus saya yang menimpa
masalah ini?’ ‘Apakah sujud saya kurang Ya Allah?’ ‘Dosa saya apa sampai bisa
menelan kepahitan ini mentah-mentah?’. Lain dengan Pak Subagyo dan Pak Anto
yang sudah kehilangan akalnya, mereka hanya diam dan menahan tawa melihat Pak
Cahyo menjerit mengutuk dirinya. Pak Yanto hanya bisa diam dan menatap Pak
Cahyo dengan raut wajah yang biasa. Tanpa rasa iba, tanpa rasa kasihan. Sungguh
sangat datar rautnya.
Dengan kayuhan lemah, Pak
Cahyo mengayuh kereta kencananya menuju istana terindahnya. Di jalan, Pak Cahyo
hanya memikirkan bagaimana cara menjelaskan ke istrinya tentang semua ini. Bagaimana
nasib keluarganya? Bagaimana jika istrinya tidak dapat memahami masalahnya? Namun
tetap. Pak Cahyo selalu yakin Allah tidak akan membiarkan hambaNya terpuruk
terlalu lama.
Setelah menjelaskan semua
yang terjadi hari ini ke istrinya, Bu Cahyo tidak bisa berkata apa-apa. Bu
Cahyo hanya bisa terdiam sambil menyeka air matanya. Pak Cahyo merasa bersalah
dan seolah kesalahan terbesar selama ia berumah tangga dengan Bu Cahyo adalah
kejadian hari itu. Saat Pak Cahyo terhanyut mengutuk dirinya, dengan langkah
perlahan Bu Cahyo memeluknya.
“Cukup, Pak. Sampeyan
kalau masih seperti ini saya tambah kepikiran dan tidak bisa berhenti menangis.
Jalan satu-satunya kita harus legowo. Kita harus bisa bangkit perlahan
namun tetap berproses. Insha Allah, Allah tidak membebani hambaNya melebihi
batas kemampuannya. Bapak ndak sendirian, ada Ibu yang bisa jadi tulang
punggung sementara Bapak cari pekerjaan lagi.”
“Matur suwun, Dek.
Mas minta maaf ndak bisa memberimu kehidupan yang enak. Tapi Mas janji
akan membahagiakan sampeyan, Dek.” Sahut Pak Cahyo sembari memeluk erat
pundak istrinya.
19 Mei 2020. Seminggu setelah
kejadian.
“Bu, alhamdulillah Bapak
dapat rezeki dari Pak Sholeh seng ndue kebun. Jarene kerjone Bapak
apik, mangkane dike’i ceperan.” Sambil memberi amplop coklat berisi uang
kepada Bu Cahyo.
“Alhamdulillah, Pak.
Allah ndak akan menelantarkan hambaNya dalam jurang kesusahan. Allah Maha
Baik, Pak. Yowes iki tak simpen sek, ayo ndang mangan, Pak. Aku wes
nyiapno segone ndek meja.” Tangan Bu Cahyo menarik tangan suaminya menuju
meja makan.
“Bu, urip iku koyok
kaleng kerupuk iki yo.”
“Maksute Pak?”
“Gak enek seng bakal
eru ndek dalem kaleng iku isine opo selain wong seng sering
mbukai kaleng iku. Podo koyok urip, gak kiro ngerti isi atine wong
selain arek seng sering omong-omongan karo wong iku.”
Komentar
Posting Komentar